Tajudin Nor
Wakil Ketua KNPI Kota Tarakan
MESIN-mesin kendaraan di Tarakan satu per satu menyerah. Suaranya hilang, tenaganya lenyap, dan sebagian bahkan tak bisa lagi menyala. Bukan karena usia pakai, bukan pula karena salah servis. Tapi karena satu hal yang ironis: mereka mengisi bahan bakar di SPBU resmi.
BBM Petralite yang seharusnya menjadi tenaga hidup, justru jadi penyebab rusaknya mesin-mesin warga. Tangki-tangki penuh cairan keruh. Filter bahan bakar menggumpal hitam. Endapan seperti lumpur ditemukan di injektor. Dan, secara konsisten, semua ini terjadi setelah kendaraan mengisi di stasiun pengisian bahan bakar milik negara. Maka, pantas publik curiga: ada apa dengan solar subsidi kita?
PT Pertamina Patra Niaga merespons dengan bahasa protokol: uji laboratorium sedang dilakukan, pengambilan sampel telah dilakukan di beberapa SPBU, dan seperti biasa, publik diminta menunggu. Tetapi waktu yang berlalu tak kunjung membawa kejelasan. Tak ada hasil uji yang diumumkan secara terbuka. Tak ada penjelasan siapa yang bertanggung jawab. Dan yang paling menyakitkan, tak ada kompensasi bagi warga yang kendaraannya rusak, pendapatannya lenyap, atau mobil operasionalnya harus masuk bengkel.
Di tengah ketidakjelasan itu, Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Kalimantan Utara turun tangan. Mereka menyebut bahwa aduan paling banyak datang dari pengguna biosolar, BBM bersubsidi yang diperuntukkan bagi masyarakat kecil. Artinya, yang paling terkena dampaknya adalah mereka yang paling rentan.
Kasus ini bukan hanya perkara teknis. Ia adalah bukti terang bahwa tata kelola distribusi energi di Indonesia masih bobrok. BBM yang tak berkualitas tidak mungkin muncul begitu saja. Ia adalah hasil dari serangkaian kelalaian: dari pengangkutan yang tak steril, depot yang abai terhadap mutu, hingga SPBU yang mungkin tak peduli pada apa yang mereka jual.
Padahal, hak masyarakat atas bahan bakar yang layak dan aman dilindungi oleh hukum. Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi secara tegas menyebut bahwa “Pemerintah menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian Bahan Bakar Minyak yang berkualitas baik dan terjangkau oleh masyarakat secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Bukan hanya itu. Dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan. Jika BBM yang didistribusikan terbukti kotor atau tercemar, maka Pertamina sebagai pelaku usaha dapat dimintai pertanggungjawaban.
Lalu di mana negara? Mengapa Kementerian ESDM diam? Mengapa tidak ada audit publik terhadap rantai distribusi BBM? Mengapa Pertamina masih bicara soal “proses investigasi” tanpa membuka hasilnya ke publik? Ini bukan sekadar masalah teknis. Ini adalah soal akuntabilitas.
Dan akuntabilitas tidak bisa berjalan tanpa transparansi. Publik berhak tahu siapa yang lalai. Publik berhak tahu apakah kontaminasi terjadi di depo, di truk tangki, atau di SPBU. Publik juga berhak tahu, apakah ini terjadi karena kelalaian semata atau ada praktik pengoplosan yang disengaja demi menekan biaya distribusi.
Yang lebih ironis, kejadian ini berlangsung di wilayah yang justru kaya akan sumber daya alam. Kalimantan Utara bukan wilayah terpencil yang terputus dari pasokan. Ia bagian dari sistem distribusi BBM nasional yang katanya modern dan terkoneksi. Jika di Tarakan saja bisa terjadi kasus seperti ini, bagaimana dengan daerah-daerah lain yang lebih jauh dan lebih rawan?
Negara tak boleh diam. Pertamina, sebagai BUMN energi, tak boleh bersembunyi di balik prosedur. Dan masyarakat tidak boleh dibiasakan menerima BBM yang merusak mesin. Energi bukan sekadar barang dagangan. Ia adalah infrastruktur kehidupan.
Kalau pemerintah serius ingin memperbaiki tata kelola energi, maka langkah pertama adalah menyelesaikan kasus di Tarakan dengan tuntas dan terbuka. Audit publik harus digelar. Pelaku kelalaian harus dihukum. Dan warga yang dirugikan harus diberi kompensasi.
Jika tidak, maka setiap tetes BBM yang kita isikan ke tangki adalah taruhan, bukan hanya untuk mesin kendaraan, tapi juga untuk harapan rakyat terhadap negara. (*)
Discussion about this post