TANA PASER — Kondisi iklim usaha di wilayah Adang Bay, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, kembali disorot setelah dua perusahaan operator Floating Crane mengalami penghentian paksa kegiatan bongkar muat akibat tekanan aksi massa Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM).
Peristiwa terbaru dialami PT Advisa Maritim Indonesia (AMI) pada awal Desember 2025. Aktivitas transshipment ship to ship (STS) yang telah direncanakan bersama PT Jhonlin Marine Lines (JML) mendadak terhenti setelah TKBM memaksakan tarif sesuai keinginan mereka hingga memaksa mengambil alih kemudi operator floating crane, dan berujung intimidasi penghentian aktivitas bongkar muat floating crane.
“Pertanyaannya boleh kah TKBM memaksakan kehendak agar kegiatan dihentikan, dan dilakukan secara paksa dengan pengerahan massa,” kata Mohamad Rifai, Direktur Legal PT AMI yang ditemui wartawan di Polres Paser, kemarin.
“Kami ini hanya pelaku jasa transportasi laut, bukan shipper atau buyer. Kami sudah jalin komunikasi baik dengan pihak TKBM, namun beberapa pengkondisian dari pihak eksternal, penetapan tarif secara sepihak hingga pemaksaan operator floating dari TKBM, ini merugikan kami,” tambahnya.
Rifai mengatakan, AMI mengalami merugi besar akibat penghentian mendadak ini.
Bahkan, ini bukan kejadian pertama. Kejadian serupa sebenarnya telah terjadi pada 12 Oktober 2025, ketika video viral menunjukkan massa naik ke kapal Floating Crane Nan Jia yang dioperasikan ABAS. Massa berteriak mencari nakhoda dan operator, bahkan sebagian diduga membawa benda tajam, sehingga aktivitas bongkar muat juga dihentikan.
Insiden itu dipicu ketegangan tarif, TKBM meminta Rp 2.700 per metrik ton serta kenaikan gaji operator, premi, akomodasi hingga BPJS, yang jika ditotal mencapai Rp 250 juta per kapal — angka yang dinilai pengusaha tidak memiliki dasar regulasi resmi.
Dokumen kerja sama TKBM yang beredar turut mengundang sorotan pakar hukum, karena diduga mengandung klausul monopoli jasa bongkar muat dan potensi perjanjian di bawah tekanan.
Sejumlah pemerhati pelayaran menilai rangkaian insiden ini menunjukkan iklim usaha di Paser tidak kondusif, terutama bagi operator Floating Crane dan pelaku logistik.
“Kalau kegiatan bisa dihentikan massa kapan saja, investor akan berpikir ulang untuk masuk,” ujar seorang tokoh pelabuhan.
Arifai menambahkan, tindakan penghentian paksa kegiatan usaha, pengerahan massa ke kapal, intimidasi terhadap operator, hingga pemaksaan tarif tanpa dasar hukum bukan hanya merugikan pelaku usaha, tetapi juga merupakan pelanggaran pidana.
Para pelaku dapat dijerat sejumlah pasal, mulai dari Pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan dan pemaksaan, hingga Pasal 368 KUHP mengenai pemerasan dan pengancaman yang ancamannya mencapai sembilan tahun penjara.
Jika aksi dilakukan secara berkelompok atau melibatkan massa yang naik ke kapal dan menghentikan operasi, pelakunya dapat dikenakan Pasal 170 KUHP dengan ancaman hingga tujuh tahun penjara.
Selain itu, UU Pelayaran No. 17/2008 juga melarang tindakan yang mengganggu keselamatan pelayaran, memasuki kapal tanpa izin, atau menghambat bongkar muat, dengan ancaman pidana dua tahun dan denda ratusan juta rupiah.
Praktik monopoli jasa pelabuhan, pemaksaan penggunaan tenaga kerja tertentu, hingga pengaturan tarif sepihak juga dapat dikenai sanksi berdasarkan UU Ketenagakerjaan dan UU Persaingan Usaha Sehat. Serangkaian aturan ini menegaskan bahwa setiap tindakan yang mengganggu kelancaran usaha dan mengancam keselamatan operasional di wilayah pelabuhan dapat ditindak secara hukum.
Pelaku usaha kini mendesak pemerintah daerah, KUPP, dan aparat penegak hukum untuk memastikan keamanan, kepastian hukum, serta penataan tarif resmi agar insiden serupa tidak kembali terjadi.






Discussion about this post