JAKARTA – Sejumlah pengusaha jasa maritim mempertanyakan kembali keberlakuan Keputusan Bersama (SKB) Tahun 2011 antara Ditjen Perhubungan Laut, Ditjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja, dan Deputi Kementerian Koperasi yang mengatur Pembinaan dan Penataan Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) di Pelabuhan. Aturan yang telah berusia lebih dari 13 tahun itu dinilai menimbulkan tafsir berlebihan dan menjadi dasar bagi tindakan intimidatif di lapangan.
PT Advisa Maritim Indonesia (AMI) secara resmi telah mengirimkan surat permohonan klarifikasi kepada Kementerian Koperasi, serta ditembuskan kepada Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, untuk memastikan apakah SKB 2 Dirjen–1 Deputi Tahun 2011 masih berlaku penuh dan apakah ketentuannya mencakup kegiatan transshipment atau ship to ship (STS) yang berada di luar areal pelabuhan.
Dalam laporan yang disampaikan AMI, disebutkan telah terjadi penghentian paksa kegiatan bongkar muat oleh kelompok yang mengatasnamakan TKBM. Mereka memaksa naik ke kapal, melakukan intimidasi terhadap nakhoda dan operator crane, serta berupaya mengambil alih kemudi crane yang sedang dioperasikan tenaga bersertifikat.
Penghentian paksa tersebut dilakukan dengan pengerahan massa, menimbulkan gangguan terhadap keselamatan crew, dan mengakibatkan kerugian operasional. AMI mengalami intimidasi hingga penghentian paksa kegiatan di Teluk Adang Bay, Kabupaten Paser, Kaltim, awal Desember ini.
AMI menilai tindakan tersebut berpotensi memenuhi unsur pelanggaran pidana seperti perbuatan tidak menyenangkan (Pasal 335 KUHP), pemerasan atau pengancaman (Pasal 368 KUHP), serta potensi pelanggaran keselamatan pelayaran sebagaimana diatur dalam UU Pelayaran.
“Kami minta perlindungan dan kepastian hukum, kami ini hanya operator jasa transportasi laut. Kalau mengacu UU Pelayaran No 17 tahun 2008, tidak boleh ada tindakan memasuki kapal tanpa izin, menghambat bongkar muat, dan mengganggu keselamatan pelayaran, itu jelas pidana,” kata Mohamad Rifai, Direktur Legal PT AMI kepada wartawan hari ini 9/12/2025.
SKB 2011 secara jelas mengatur kewajiban penggunaan TKBM di wilayah pelabuhan seperti DLKr dan DLKp. Namun Pasal 8 yang mewajibkan operator crane menggunakan tenaga TKBM dianggap sering disalahartikan sebagai berlaku untuk semua jenis kegiatan bongkar muat, termasuk STS yang berada jauh di perairan terbuka.
Padahal, kegiatan STS secara hukum bukan merupakan aktivitas bongkar muat pelabuhan, melainkan operasi teknis maritim yang memerlukan kompetensi khusus dan sertifikasi internasional.
“Karena itu kami bersurat, apakah SKB 2011 masih relevan dan apakah berlaku untuk kegiatan transshipment yang bukan berada dalam yurisdiksi pelabuhan. Ketidakjelasan ini membuka ruang tindakan di luar kewenangan,” kata Rifai.
Pengusaha menilai kekisruhan yang terjadi di lapangan berawal dari ketidakpastian regulasi dan penafsiran sepihak mengenai SKB 2011. Karena itu surat klarifikasi kepada Kementerian Koperasi dan Kementerian Perhubungan diharapkan dapat memberikan kepastian hukum, mencegah intimidasi, dan menjamin iklim usaha yang kondusif.
“Kami berharap pemerintah memberikan penegasan agar kegiatan usaha di sektor kemaritiman dapat berjalan tanpa tekanan dan tanpa tindakan yang membahayakan keselamatan,” tambahnya.








Discussion about this post