TARAKAN – KNPI adalah rumah besar kaum muda. Ia bukan sekadar simbol, melainkan tempat lahirnya gagasan, ruang berproses, dan wadah konsolidasi kekuatan generasi penerus bangsa. Namun di Kalimantan Utara, rumah ini kini retak, nyaris roboh bukan karena perbedaan gagasan, melainkan karena perebutan kuasa dan intervensi yang tak semestinya.
*Dualisme: Luka Terbuka Pemuda Kaltara*
Sejak awal 2025, DPD KNPI Kalimantan Utara dihadapkan pada polemik serius dualisme kepemimpinan. Pleno yang digelar 27 Januari 2025 memutuskan pemberhentian Ketua Andi Mulyono dan menunjuk Darmawan sebagai pelaksana tugas. Namun keputusan itu ditolak oleh Andi, yang menyebutnya inkonstitusional dan bermuatan kepentingan pribadi.
Alih-alih diselesaikan melalui mekanisme organisasi yang sah, dualisme ini justru menjalar ke bawah. Kota Tarakan menjadi salah satu titik benturan. Pada Maret 2025, keluar surat mandat dari DPD KNPI Kaltara yang dipimpin Niko Ruru untuk membentuk karateker KNPI Tarakan. Lalu muncullah nama Sakti Abimanyu, yang kemudian menyiapkan Musda tandingan. Ini jelas bukan lagi urusan internal ini adalah konflik yang dipertontonkan kepada publik.
*Keterlibatan Gubernur: Diam yang Bersuara*
Yang membuat luka ini terasa makin dalam adalah dugaan keterlibatan Gubernur Kalimantan Utara. Meski tidak pernah secara eksplisit menyatakan keberpihakan, kehadiran beliau dalam forum-forum yang digelar oleh salah satu kubu, serta ketidakhadirannya dalam forum lain, telah cukup menjadi isyarat bagi publik: netralitas pemerintah dipertanyakan.
Pertemuan Gubernur Kaltara dengan Umum DPP KNPI versi Ryano Panjaitan yang diunggah ke media sosial menambah daftar panjang indikasi keberpihakan. Pertemuan tersebut berlangsung di tengah memanasnya konflik KNPI di Kaltara, dan menjadi sinyal politik yang kuat tentang arah dukungan kekuasaan.
Padahal, pada 27 Juli 2024, Gubernur Zainal Arifin Paliwang menerima penghargaan sebagai “Tokoh Peduli Pemuda” dari DPP KNPI versi Haris Pertama. Sebuah penghargaan bergengsi yang semestinya diiringi tanggung jawab moral untuk menjaga ruang pemuda dari kontaminasi kekuasaan. Tapi hari ini, justru atas nama pengaruh dan relasi kuasa, ruang itu tampaknya dijadikan ladang pengaruh politik, bukan ruang kaderisasi.
Tarakan: Medan Uji Konsistensi dan Etika*
Kota Tarakan menjadi medan uji. Ketika dualisme kepemimpinan KNPI Kaltara menurunkan karateker ke Tarakan dan mulai menyiapkan pelantikan serta Musda tandingan, organisasi-organisasi kepemudaan lokal mulai bertanya: siapa yang berhak mewakili pemuda Tarakan? Mengapa konflik internal provinsi harus diseret ke level kota?
Lebih dari itu, muncul pertanyaan etik: apakah adil jika pemerintah daerah—baik provinsi maupun kota—berpihak secara simbolik dan administratif kepada satu kubu? Apakah pantas jika APBD digunakan untuk mendanai kegiatan organisasi yang kepemimpinannya belum jelas secara hukum dan organisasi?
*Pemuda Bukan Alat, Tapi Pilar*
Pemuda bukan alat. Dan KNPI bukan panggung politik praktis. Mereka yang berupaya menjadikan KNPI sebagai batu loncatan kekuasaan harus diingatkan: organisasi ini lahir dari darah dan perjuangan generasi pendahulu. Bukan untuk dipermainkan, bukan pula untuk disusupi.
Jika Gubernur benar-benar peduli pada pemuda, maka seharusnya beliau menjadi penengah, bukan pendukung diam-diam. Netralitas bukan pilihan, tapi kewajiban. Dan jika konflik ini dibiarkan, maka yang hilang bukan hanya kepercayaan pemuda, tapi juga martabat institusi negara di mata generasi muda.
*Menutup Luka, Bukan Membuka Cedera Baru*
Sebagai Ketua DPD Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Kalimantan Utara, saya menyampaikan bahwa sudah saatnya kita berkata cukup. Pemuda Kaltara harus bersatu untuk merebut kembali marwah KNPI sebagai rumah bersama, bukan sekadar alat legitimasi dan hibah. Pemerintah harus berhenti mencampuri urusan organisasi kepemudaan. Jangan lagi ada pelantikan-pelantikan tandingan, jangan ada Musda yang hanya jadi formalitas legalitas semu. Biarkan KNPI menyelesaikan rumah tangganya sendiri—secara organisasi, bukan politis.
Jika hari ini kita membiarkan organisasi pemuda dipolitisasi, maka kita sedang menggali lubang kehancuran masa depan politik itu sendiri.
Discussion about this post